Krisis TVRI dan Wajah Penyiaran Publik

Judul berita di surat-surat kabar beberapa pekan belakangan ini yang antara lain berbunyi: "Komisi I DPR minta direksi TVRI diganti"; "TVRI Medan mungkin akan berhenti siaran"; "TVRI Padang akan kolaps" menandakan bahwa stasiun TV --yang menurut UU No.32 tahun 2002 merupakan stasiun penyiaran publik-- ini memang bermasalah berat. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang memprihatinkan bagi dunia penyiaran kita. Inikah gerangan potret wajah TV publik yang tengah dinantikan perwujudannya? Mengapa hal ini terjadi?

Sebenarnya jika ditelusuri ke belakang, problem TVRI ini dari dulu telah menggejala, namun tidak pernah dipecahkan secara tuntas. Penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat sebagian atau sementara, sedang solusi yang menyeluruh dapat dikatakan belum pernah dilakukan. Akibatnya, seperti sekedar meredam persoalan untuk sejenak, dan ketika tiba saatnya akan muncul ke permukaan.

Sesungguhnya stasiun TV tertua di Indonesia ini memang mengidap sejumlah problem. Tidak cuma soal kepemimpinan dan kekurangan biaya seperti yang paling sering dikemukakan selama ini, tetapi sungguh suatu kompleksitas masalah yang melilit. TVRI menghadapi masalah sajian acara yang tidak menarik sehingga ditinggalkan oleh khalayaknya, tampilan dan kualitas program, kekurangan sarana teknis, ketinggalan teknologi, dan lain sebagainya.

Tampaknya, di antara problem terberat di tubuh stasiun TV tertua di Indonesia ini justru menyangkut sumber daya manusianya. Setelah berpuluh tahun terbiasa dan terbentuk dalam suatu lingkungan kerja yang "enak", memang sukar untuk mengharapkan mereka dapat berubah. Begitu berat "penyakit" yang mengepungnya, agaknya, biar ditukar pimpinan berapa kali, dan diberi dana berapa pun, masalah TVRI tidak akan selesai jika penanganannya masih dengan pendekatan yang sama.

Dengan demikian, membenahi TVRI berarti harus melakukan perubahan yang menyeluruh. Bila diibaratkan mesin, maka untuk memperbaiki TVRI tidak bisa tidak harus di"overhaul", harus "turun mesin". Perbaikan mesti dilakukan sejak merumuskan kembali konsepsi dasar yang menjadi patokan hingga ke rumusan yang mendetail untuk mengoperasionalkan konsep suatu stasiun penyiaran publik.

Untuk itu mutlak diperlukan langkah-langkah perubahan yang signifikan bagi positioning, tampilan dan kinerja stasiun TV ini dalam melayani masyarakat. Sebagai contoh, rasanya hingga kini belum ada suatu penjelasan yang menyeluruh kepada publik, mengenai bagaimanakah gerangan konsepsi TVRI sebagai sebuah stasiun yang berbeda dari sejumlah televisi lain yang semuanya merupakan bisnis komersial.

Tanpa suatu gambaran yang konkret mengenai arah haluan TVRI, wajar bila timbul pertanyaan, "Apakah TVRI mau tetap seperti dulu, melanjutkan riwayat hidup yang telah dilakoninya sekitar 40 tahun?"

Ataukah telah ada kesadaran untuk dengan sengaja mengubah diri seirama dengan berubahnya zaman?

Secara lugas mungkin pertanyaannya adalah: "TVRI mau jadi kayak apa?"

Stasiun TV yang misi utamanya melayani publik, karena itu tidak komersial, atau BUMN yang cari untung, atau memang mau jadi TV komersial? Kejelasan mengenai hal ini amat penting karena akan menentukan bagaimana "rute perjalanan" TVRI dalam memfungsikan keberadaannya di tengah percaturan medan penyiaran.

Wajah TV Publik
Bagaimanapun, krisis yang menimpa TVRI ini dapat membawa implikasi yang cukup berarti bagi citra penyiaran publik di tanah air. Menguaknya masalah ini, di saat sistem penyiaran di tanah air sedang menanti bagaimana tampilan suatu TV publik yang bahkan telah dilegitimasi dengan undang-undang, dikuatirkan dapat menyebabkan khalayak menjadi kurang respek dan berpandangan negatif terhadap konsep penyiaran publik. Padahal untuk dapat tampil dengan citra yang positif, tentulah pada dirinya sendiri harus bebas dari segala problem yang mengganggu.

Bagi khalayak televisi di tanah air, tersedianya pilihan tontonan 10 stasiun televisi swasta siaran komersial saat ini sudah cukup banyak. Malah barangkali kini sudah agak sukar bagi audiens untuk membagi perhatian mereka menghadapi pilihan yang begitu banyak.

Bukan mustahil pula pada titik tertentu kelak akan terjadi kejenuhan di sisi khalayak, jika yang disajikan oleh sekian stasiun TV nyatanya cuma yang itu-itu saja dengan sedikit mengubah di sini-sana.

Yang dibutuhkan khalayak adalah siaran televisi yang berbeda dari sepuluh sajian komersial tadi, yaitu siaran yang isinya mendidik sekaligus menghibur. Di tengah ramainya suguhan televisi dewasa ini yang sebenarnya nyaris sama dalam gaya dan semangatnya, dibutuhkan suatu penyeimbang. Harus ada suatu sajian siaran televisi yang tampil beda. Di tengah meriahnya operasi TV swasta yang mencari untung dari menyiarkan iklan sebanyak-banyaknya, khalayak perlu mempunyai pilihan lain.

Pilihan itu adalah suatu siaran televisi yang tidak mengutamakan perolehan laba. Artinya bukan semata-mata bersifat komersial. Meski berupaya mencari dana, namun tidak menjadikannya sebagai basis pertimbangan untuk segalanya. Dengan demikian ada pilihan bagi khalayak untuk menikmati sajian siaran televisi yang tidak sebentar-sebentar diinterupsi oleh penayangan iklan. Sebuah siaran yang lebih ditujukan untuk mencerdaskan khalayak, bukan sekedar menghibur mereka. Fungsi menghibur ini toh sudah dikerjakan oleh TV swasta, yang di sana-sini malah sudah berlebih.

Di Inggris kita ketahui ada televisi BBC dan di Jepang ada NHK yang merupakan televisi publik yang berbobot dan berorientasi non-komersial. Keduanya mempunyai misi mencerdaskan khalayaknya. Bukan siaran TV yang sekedar sebagai ajang bisnis untuk mengejar sebanyak-banyak iklan untuk dijejalkan ke dalam tayangannya.

Peran sebagai suatu penyiaran publik non-komersial inilah yang harus diemban oleh TVRI dengan sebaik-baiknya. Lagipula, sebagai aset pemerintah dan masyarakat, yang telah puluhan tahun dibiayai oleh negara, memang sepantasnyalah TVRI menjalankan fungsi ini. Jika tidak, siapa yang harus mengambil alih peran ini?

Menjadi TV pelayanan publik bukan berarti siarannya lalu jadi memble. Jika dikemas dan diolah secara profesional, sajian TV publik bisa sama memikatnya dengan yang komersial. Hanya orientasinya yang kentara bedanya. Yang satu memang diniatkan sebagai lahan bisnis mencari untung, sedang yang satu lagi dimaksudkan untuk melayani kebutuhan publik dalam informasi, pencerahan dan pencerdasan.

------
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/15/opi01.html
Posted at 23:00 | 1 comments read on

About Me

Zulkarimein Nasution
Depok, Jawa Barat.