Kualitas Pembelajaran di Universitas Meningkat?

RIUH rendah kontroversi tentang penerimaan mahasiswa baru lewat jalur khusus di beberapa universitas negeri baru-baru ini, sekarang seakan telah reda. Mahasiswa yang diterima lewat bermacam jalur itu telah diumumkan dan tahun akademi baru pun sudah mulai. Publik pun sepertinya telah disibukkan dengan hal-hal lain yang menyita perhatian mereka.

Namun begitu, perlu dipertanyakan, apakah perguruan tinggi kita hanya bersemangat tatkala mencari pemasukan uang dengan alasan untuk membiayai kegiatannya. Imbalan apa yang dijanjikan kepada masyarakat bila mereka rela membayar mahal? Apakah ada peningkatan dalam proses belajar-mengajar di lingkungan universitas kita?

Hal ini amat penting diperhatikan karena yang diharapkan oleh masyarakat tentunya setelah membayar mahal, akan ada peningkatan kualitas para lulusan pendidikan tinggi kita. Untuk itu, perlu ditilik bagaimana langkah universitas kita selama ini dalam mengembangkan sistem pembelajarannya yang dapat disebut sebagai jantung dari kegiatan pendidikan tersebut.

Meskipun pendidikan tingkat universitas di tanah air telah dimulai sejak tahun 50-an, perhatian yang agak serius untuk pengembangan sistem instruksional (sistem belajar-mengajar secara sistematis) di lingkungan universitas baru mulai sejak era 80-an. Sebelum itu, kegiatan belajar-mengajar di universitas umumnya berlangsung secara tradisional dengan asumsi bahwa jika seseorang mampu belajar (maksudnya telah lulus perguruan tinggi), pastilah ia pun mampu mengajar (di perguruan tinggi pula). Padahal dalam kenyataan tidak sesederhana itu dan tidak ada jaminan bahwa orang berilmu mampu pula mengajarkan ilmunya dengan baik. Alasannya, penguasaan materi dan kemampuan untuk mengajarkan sesuatu secara benar tidak selalu seiring.

Pada tahun 1979 diberlakukan sistem kredit semester yang menuntut perubahan dalam beberapa aspek kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi. Kualitas tenaga pengajar dan proses pembelajaran harus ditingkatkan. Waktu itulah diselenggarakan program yang disebut Akta V yang merupakan lokakarya singkat untuk membekali para pengajar di perguruan tinggi dengan pengetahuan dan keterampilan belajar-mengajar. Namun setelah berlangsung beberapa lama, program ini kemudian dihentikan.

Akan tetapi, menerapkan pengembangan sistem instruksional yang baik memang bukan hal yang mudah. Untuk mewujudkan hal ini dalam kegiatan belajar-mengajar sehari-hari menuntut serangkaian keterampilan baru dan penggunaan waktu serta energi ekstra dibanding dengan pengajaran yang konvensional selama ini. Sebagai contoh, memilih dan menugaskan bacaan buku teks tertentu jelas lebih mudah daripada harus menyusun dan terus-menerus memperbaharui (updating) daftar bacaan untuk suatu mata kuliah.

Mempersiapkan slide dan transparansi tentunya membutuhkan keterampilan, waktu, dan upaya tersendiri. Begitu pula dalam menyiapkan ceramah biasa, tidak seberat menyusun sekuensi suatu mata kuliah ke dalam modul-modul yang dikembangkan dengan baik agar mahasiswa mendapatkan pengalaman belajar yang bervariasi dan menarik. Namun, itu semua dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas proses belajar-mengajar yang pada gilirannya diharapkan meningkatkan mutu lulusan.

Untuk itu para pengajar hendaklah diyakinkan bahwa tambahan upaya dan waktu yang dituntut untuk meningkatkan sistem pembelajaran ini memang untuk kemanfaatan bagi semua pihak, pengajar sendiri, dan tentunya para mahasiswa serta masyarakat yang nantinya menjadi pengguna para lulusan pendidikan tinggi kita.

Pengembangan sistem instruksional yang dimaksudkan untuk tercapainya tujuan pendidikan dan mencakup berbagai hal dan faktor yang berkaitan dengan berlangsungnya kegiatan belajar-mengajar. Jadi segala hal yang diperkirakan berpengaruh untuk mencapai hasil belajar-mengajar yang efektif menjadi perhatian dalam pengembangan sistem ini. Oleh karena itu, pengembangannya tidak bisa separuh-separuh atau hanya sebagian, tetapi mesti menyeluruh serta mencakup semua aspek.

Pengaruh luar
Untuk berlangsungnya suatu perubahan diperlukan dorongan dan dukungan secara internal maupun eksternal. Salah satu yang mendorong berubahnya cara-cara pengajaran di perguruan tinggi kita adalah semakin banyaknya orang Indonesia --termasuk para dosen-- yang berkesempatan belajar di universitas luar negeri. Mereka merasakan sendiri bagaimana di universitas tempat mereka belajar, para dosen menerapkan --dan menjadi bagian dari-- suatu sistem instruksional yang telah berkembang (developed).

Dari sekian banyak yang belajar di luar negeri ini kemudian cukup banyak yang sepulangnya di tanah air lantas menjadi pengajar pula. Cukup banyak dari mereka yang kemudian mempraktikkan apa yang dirasakannya sewaktu belajar dulu. Meski ini belum jaminan atau berarti bahwa mereka telah menguasai prinsip-prinsip pengembangan instruksional secara benar dan tepat, sedikit banyak telah membukakan atmosfer ke arah perubahan.

Pengaruh lainnya bersumber dari bantuan luar negeri. Di lingkungan departemen pendidikan kita pernah ada kegiatan pelatihan dan lokakarya pengembangan sistem instruksional pendidikan tinggi. Belakangan, setelah bantuan luar negeri berakhir, tampaknya kegiatan ini juga tidak lagi terdengar.

Seharusnya memang, bantuan luar negeri berfungsi sekadar sebagai pendorong. Selanjutnya hal ini harus menjadi kegiatan reguler yang berkesinambungan, sebab, begitu banyaknya jumlah pengajar universitas di seluruh tanah air yang seyogianya dibekali dengan kemampuan belajar-mengajar yang dapat diandalkan.

Tuntutan zaman
Lepas dari segala faktor yang telah dikemukakan tadi, satu hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa arah perkembangan zaman memang menuntut peningkatan sistem pendidikan sebagai suatu hal yang mutlak bila suatu bangsa mau survive dalam ajang kompetisi global di abad ini. Itu sebabnya, negara-negara yang berhasil mengarungi tantangan perkembangan zaman adalah mereka yang sukses membangun sistem pendidikannya. Meski kita mungkin sudah agak jenuh, saking seringnya disebut-sebut soal peningkatan SDM.

Indikator tentang ketertinggalan kita dari bangsa lain telah ditunjukkan oleh beberapa macam indeks. Pembangunan manusiawi, kekompetitifan negara, peringkat pendidikan se-Asia, dan lain sebagainya. Jadi tidak ada lagi alasan untuk menunda tindakan nyata perbaikan pendidikan kita sekarang juga!

Berbagai kendala
Walau demikian, untuk jangka waktu yang cukup panjang, upaya meningkatkan sistem pembelajaran di pendidikan tinggi kita tampaknya masih menghadapi berbagai kendala. Di antara sederet hambatan yang menghadang peningkatan kualitas sistem instruksional perguruan tinggi kita, antara lain adalah

(a) misperception. Seakan-akan pengembangan sistem instruksional sudah terwakili bila di perguruan tinggi dimaksud sudah digunakan OHP, VCD, komputer, proyektor in-focus, dan sebagainya. Memang penggunaan teknologi merupakan salah satu penerapan prinsip-prinsip pengembangan sistem instruksional, tetapi yang lebih penting adalah apakah penerapan tersebut telah didasarkan pada konsepsi yang tepat dan menyeluruh?

(b) Generasi yang telah terbentuk. Selagi generasi yang menganut sistem lama masih dominan dalam pengelolaan suatu perguruan tinggi, pengembangan sistem instruksional dalam skala penuh, masih tetap mengalami hambatan.

(c) Tenaga pengajar. Karena motivasi mengajar yang juga bervariasi, banyak di antara pengajar perguruan tinggi yang tidak antusias dengan perubahan ini. Mereka merasa jika dengan cara yang lama pun bisa survive, mengapa harus direpotkan dengan cara-cara baru yang menuntut banyak perubahan dan kerja tambahan.

(d) Kepemimpinan dan lingkungan yang tidak mendukung. Bagaimana pun kuatnya keinginan serta upaya untuk mengubah sistem belajar-mengajar, selama lingkungan sekitar tidak mendukung, (baca tidak merangsang) perubahan tersebut, sukar untuk diharap berhasil.

Cukup banyak para pengambil keputusan di lingkungan perguruan tinggi yang tidak paham mengenai pengembangan sistem instruksional sehingga tidak menganggap penting akan hal ini.

Konflik orientasi antara tujuan mencari uang (yang merupakan kebijakan pimpinan) di satu pihak dan tuntutan pemenuhan kualitas belajar-mengajar di pihak lain sudah merupakan cerita klasik yang terjadi sepanjang masa. Celakanya, yang disebut belakangan selalu mesti menerima kenyataan untuk dikalahkan oleh yang pertama.

(e) Komersialisasi. Dengan bertambah kuatnya orientasi komersial para penyelenggara pendidikan tinggi, upaya-upaya pengembangan sistem instruksional ini sering cenderung dipandang atau dinilai sebagai suatu pos pengeluaran yang hanya menjadi beban perusahaan. Ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa suatu perguruan tinggi mampu membangun gedung bertingkat-tingkat karena dengan begitu bisa meningkatkan daya tampung (berarti pemasukan berlipat ganda). Akan tetapi entah itu rektor, yayasan (ketua dan pengurus yang lain) tidak akan antusias bila diminta mengeluarkan biaya untuk mengembangkan sistem instruksional yang sungguh-sungguh di perguruan tinggi tersebut, sekali lagi, karena hasil dari biaya yang dikeluarkan untuk ini tidak segera terlihat kasat mata (menghasilkan duit) seperti halnya kalau membangun gedung perkuliahan.

(f) Mahasiswa. Sebagian mahasiswa yang duduk di perguruan tinggi yang telah terbiasa dengan cara belajar konvensional, juga agak kurang berminat dengan perubahan ini. Alasannya, dalam sistem instruksional yang benar, mahasiswa tidak lagi bisa berperilaku pasif dalam aktivitas belajar-mengajar sehari-hari. Mereka dituntut (sebagaimana juga para pengajar) untuk bekerja keras, aktif, dan --yang paling sukar dari semuanya-- berdisiplin.

------
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0903/17/0802.htm
Posted at 00:17 | 1 comments read on

About Me

Zulkarimein Nasution
Depok, Jawa Barat.