Menumbuhkan Masyarakat Melek Media

MENGAKU terinspirasi oleh cerita film di televisi, akhir pekan lalu seorang anak di Surabaya menjadi iseng. Dia menelepon sebuah mal di kota itu dan mengatakan ada bom yang sebentar lagi akan meledak. Inilah contoh paling baru dan nyata tentang bagaimana akibatnya jika seseorang mengonsumsi media tidak secara cerdas dan belum berkemampuan untuk menapis content yang diterima.

Cukup banyak orang yang seperti anak tersebut, tidak mengerti dan paham makna sesungguhnya dari pesan-pesan yang mereka konsumsi dari media. Tidak dapat ditawar lagi, audiens harus memiliki pengertian yang tepat tentang isi media sekarang ini. Dengan kata lain, khalayak pada masa kini harus melek media.

Setiap orang perlu melek media karena sekarang kita benar-benar hidup di abad media. Ke mana pun Anda pergi, Anda akan menemukan media. Bagi khalayak Indonesia, saat ini tersedia berbagai media cetak dan elektronik, ratusan stasiun radio plus belasan stasiun TV.

Sudah pula menjadi pemandangan umum orang berponsel ria di mana saja. Menurut perkiraan, pengguna HP di Tanah Air sekarang berjumlah sekitar 23 juta orang. Selain itu, kalangan muda kita bahkan sudah cukup banyak yang terbiasa ngobrol via internet atau chatting. Mereka itu merupakan bagian yang utama dari sekitar 10 juta pengguna internet di negeri kita sekarang.

Maka cocoklah jika Masterman (1988), mengatakan "saat ini kita hidup di abad public relations yang universal, suatu abad yang ditandai dengan misinformation dan disinformation, abad di mana politik makin bergabung dengan iklan, dan di mana images tampil dengan lebih substansi daripada isu dan argumen. Pendeknya, masa di mana rekayasa kesepakatan publik (public consent) yang meliputi suatu rentang persoalan yang luas merupakan suatu bisnis besar".

Dalam abad seperti itu orang harus pandai-pandai dalam mengarungi arus informasi yang terus mengalir dari berbagai sumber dan saluran. Jika tidak, bukan mustahil akan keliru menafsirkan dan salah menyerap pesan-pesan yang beraneka ragam bentuk dan kandungannya. Bila hal itu yang terjadi, berbagai dampak yang tidak diharapkan akan menimpa khalayak selaku pihak yang dikenai oleh pesan media.

Nah, agar kita sebagai pengguna media tidak keliru dalam mencerna dan menginterpretasikan isi sajian media yang kita konsumsi, perlu memiliki bekal dan ketahanan. Terutama karena isi sajian media sendiri yang memang mengandung potensi stimulan ke arah terjadinya dampak yang tidak diinginkan. Sifat dan karakter masing-masing medium --bila tidak dipahami secara menyeluruh-- ikut memungkinkan timbulnya akibat tersebut. Demikian pula keadaan lingkungan (fisik dan sosial) masyarakat yang sering kali ikut menyumbang timbulnya dampak yang dimaksud.

Melek Media
Sebelum media berkembang pesat seperti dewasa ini, yang diperlukan oleh setiap warga masyarakat adalah cukup jika melek huruf (literate) yang memungkinkan mereka terampil membaca dan menulis. Ternyata sekarang kemampuan itu sudah tidak lagi memadai dan harus dilengkapi dengan melek yang lain, yaitu media literacy (melek media).

Pada dasarnya melek huruf di era pra-TV telah melatih pikiran untuk menjadi reflektif, bersuara untuk berartikulasi. Membandingkan hal itu dengan masa sekarang, Pei (1976) mengatakan bahwa membaca merupakan proses pembebasan, bersifat individual dan demokratis. Membaca tidak hanya memberikan pilihan yang luas akan topik, tapi juga kesempatan menjadi kritikal --untuk menelusuri kembali dan mengkaji apa yang disampaikan oleh penulis, membandingkannya dengan ide dan sikap Anda sendiri, lalu mencernanya dengan ramuan enzim Anda sendiri.

Amat berbeda dengan pembawaan sebagai khalayak TV dan media audiovisual lainnya (penerima yang bersifat pasif) --yang memang diandalkan oleh para propagandis radio dan TV agar pesan-pesan mereka menenggelamkan dan menghasilkan efek yang mereka inginkan. Sebagai dampak dari kecanduan TV ada yang menyebutkan telah terjadinya "the decline of literacy". Dari sini muncul pendapat bahwa pengenaan yang terus-menerus terhadap TV telah menanamkan kepasifan pada diri khalayak.

Dalam pandangan Dahl (1983) dewasa ini jika seorang warga negara mau mampu mencerna pesan-pesan media massa, ia memerlukan basis untuk mengevaluasi. Dan basis itu haruslah ada sejak masih kecil. Karena itu, anak-anak perlu dilatih untuk mendekati teks visual seperti bagaimana mereka menguasai huruf dan angka. Sejak masa anak-anak seseorang perlu diakrabkan dengan lexicon atau peristilahan khas yang berlaku di dunia audio dan visual.

Tantangan pedagogis itu harus diatasi oleh institusi kultural bersama pemerintah, namun tanggung jawab utama tetap ada di rumah. Karena di rumahlah arena konsumen tempat dibentuknya kriteria tentang yang benar dan salah dalam kaitan hubungan kita dengan media.

Agar isi pesan dapat dicerna oleh anak, perlu diberikan informasi tentang ide yang ada di balik program; perlu penjelasan mengenai kata-kata asing dan informasi tentang efek khusus (special effects) seperti lighting dan angle kamera; perlu menciptakan situasi diskusi menyangkut pengalaman tiap anak yang diterima dari program TV dan isi pesannya.

Pendidikan Media
Konsep melek media (media literacy) telah dikembangkan sejak pertengahan tahun 70-an. Kemudian tahun 1976 sebuah konferensi yang disponsori oleh Ford Foundation, Markle Foundation, dan National Science Foundation mengusulkan agar yang menjadi komponen dari kurikulum melek media mencakup beberapa hal. Antara lain kebiasaan-kebiasaan produksi acara TV; analisis daya pikat (appeal) TV; karakter dan peran isyarat-isyarat non-verbal; overview sejarah dan struktur industri penyiaran; basis ekonomi untuk televisi; analisis format-format tipikal untuk programming hiburan; keprihatinan yang pokok tentang efek negatif programming; analisis nilai-nilai yang digambarkan dalam isi TV; standar-standar untuk kritik isi TV; dan jika mungkin, pengalaman langsung dengan peralatan TV.

Tahun 1978 United States Office of Education membiayai pengembangan paket kurikulum "critical TV viewing skills" berskala nasional untuk empat jenjang pendidikan: dasar, menengah, atas, dan kolej. Keterampilan menonton kritis ini didefinisikan sebagai: "Faktor-faktor yang memungkinkan seseorang untuk memperbedakan (to distinguish) di antara serangkaian unsur-unsur program yang luas sehingga mereka dapat membuat alasan yang sah untuk waktu yang digunakan buat menonton TV."

Kemudian pertemuan para pakar yang diselenggarakan oleh Unesco tahun 1979 merumuskan konsep pendidikan media sebagai mencakup "segala cara mengkaji, mempelajari dan mengajarkan pada semua tingkat (dasar, menengah, tinggi, dewasa dan pendidikan seumur hidup)... dan dalam semua konteks, sejarah, kreativitas, penggunaan dan evaluasi media sebagai suatu keterampilan teknis dan praktis sekaligus sebagai lahan yang ditempati oleh media dalam masyarakat, dampak sosialnya, implikasi komunikasi bermedia, partisipasi, modifikasi modus dari persepsi yang dihasilkannya, peran karya kreatif dan akses ke media".

Rumusan itu lantas diperjelas pada sidang umum Unesco ke-25, November 1989, bahwa "pengembangan pendidikan media yang kritis dengan menekankan pengembangan kesadaran kritis, kemampuan untuk bereaksi terhadap segala informasi yang diterima dan pendidikan bagi para pengguna media untuk mempertahankan hak-hak mereka, membentuk pendidikan media".

Untuk konkretnya, Masterman (1988) menyarankan agar pendidikan media hendaklah mengembangkan kepercayaan diri yang cukup dan kedewasaan yang kritis (critical maturity) pada diri anak agar mereka mau dan mampu menerapkan critical judgement terhadap program televisi dan sajian media lainnya.

Keberhasilan pendidikan media ditandai oleh sejauh mana murid-murid kritikal dalam penggunaan dan pemahaman media ketika guru tidak ada. Tujuan utama pendidikan media seumur hidup tidak hanya kesadaran dan pengertian yang kritikal (critical awareness) melainkan suatu otonomi yang kritis (critical autonomy). Kalau tujuan itu dapat dicapai, besar kemungkinan kita tidak lagi menjadi korban dari penyalahgunaan media. Dampak negatif dan pengaruh yang tidak diinginkan dari pesan-pesan media juga diharapkan bisa dikurangi.

Intervensi
Intervensi media massa --terutama televisi-- ke dalam kehidupan khalayak dari hari ke hari akan makin jauh. Sementara itu peran agen-agen sosialisasi mengalami pergeseran. Karena itu diperlukan sejumlah langkah konkret untuk mencegah dan mengatasi berbagai kemungkinan dampak yang tidak diinginkan.

Langkah-langkah yang dimaksud dapat ditempuh melalui penataan kebijakan program media dengan acara-acara yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatannya bagi pertumbuhan anak yang sehat secara fisik dan mental, serta pembekalan anak dengan keterampilan menonton televisi secara benar. Yang belakangan ini dapat dimulai dengan menyusun suatu materi pelatihan kepada para orangtua agar mereka dapat membimbing anaknya menjadi pengguna media yang kritis, selektif, dan memahami isi pesan dengan tepat.

Untuk itu harus ada yang mengawasi isi media yang dikonsumsi oleh khalayak. Begitu pentingnya hal ini sehingga tidak bisa diserahkan atau dipercayakan begitu saja hanya kepada para penyelenggara media. Masyarakat harus turut serta mengawasinya, dengan: pertama, mencegah masuknya program media yang diperkirakan akan merusak; dan kedua, memberi "kekebalan" kepada khalayak.

------
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/11/08/Editor/edi03.htm
Posted at 23:30 | 1 comments read on

About Me

Zulkarimein Nasution
Depok, Jawa Barat.