Aktualisasi dan Peran Pers Mahasiswa dalam Era Kebebasan Pers*
Oleh Zulkarimein Nasution**Pengajar Program Sarjana Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Pers mahasiswa dikenal sebagai bagian yang utuh dari kehidupan perguruan tinggi. Di berbagai kampus terkemuka di tanah air kita, tradisi keberadaan pers mahasiswa telah berlangsung cukup lama. Hal tersebut sama dengan yang dijumpai di hampir setiap kampus di berbagai negara di dunia. Umumnya pers mahasiswa merupakan saluran informasi dan opini yang dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan analisis mahasiswa mengenai kehidupan berkampus, bermasyarakat dan bernegara. Kemampuan tersebut memang dibutuhkan sejalan dengan proses pembelajaran yang ditempuh oleh setiap mahasiswa.
Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan pers mahasiswa seperti peluang melatih diri dalam hal kepemimpinan, memecahkan masalah, berperilaku jujur, objektif, seimbang, keterbukaan dan belajar melihat suatu persoalan dari berbagai sudut pandang. Prinsip-prinsip jurnalisme yang menjadi acuan bagi pers mahasiswa, menuntun mereka untuk menerapkan hal-hal tadi dalam perilaku yang nyata tatkala menjalankan kegiatan pers mahasiswa sehari-hari.
Seterusnya, jika dikaitkan dengan posisi mahasiswa sebagai bagian dari kaum berpendidikan (educated people) maka wajarlah bila diharapkan mereka dapat pula berfungsi sebagai contoh yang baik bagi masyarakat luas tentang bagaimana berperilaku media yang tepat dan benar. Publik bisa melihat, mempelajari dan menilai bagaimana berbagai nilai sosial yang disebut tadi seperti kejujuran, keksatriaan, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban diterapkan oleh pers mahasiswa bersama khalayaknya. Pada gilirannya nanti, para pelaku pers mahasiswa berikut audiensnya akan menjadi elemen masyarakat itu sendiri.
Kebebasan akademik dan kebebasan pers
Kebebasan pers amat dekat dengan keberadaan prinsip kebebasan akademik yang menjadi ruh dari keberlangsungan kehidupan perguruan tinggi. Itu sebabnya penghayatan tentang kebebasan akademik amat menolong untuk memahami dan mempraktekkan kebebasan pers. Kedua hal ini mempunyai kesamaan dalam hal pengakuan terhadap kebebasan untuk mengembangkan dan mengekspresikan ide, pemikiran serta kebertanggungjawaban dalam penerapannya.
Begitu penting kebebasan akademik maka umumnya hal ini dicantumkan dalam statuta masing-masing universitas.
Pers mahasiswa dan era kebebasan pers
Sejak berlangsungnya reformasi delapan tahun yang lalu, kita merasakan suatu kondisi yang amat menggembirakan dalam hal kebebasan pers di tanah air. Kini tiada lagi suatu penghalang apa pun bagi pers secara keseluruhan untuk melaksanakan fungsinya sebagai “penyidik” lingkungan (surveillance of environment), pendidik, dan pengendali sosial (social control) bagi masyarakat. Sekarang tidak ada hal yang tabu untuk diungkap dan dipaparkan oleh media kita seperti yang pernah terjadi pada masa sebelumnya. Acuan formal mengenai kemerdekaan pers ini termaktub dalam UUD 1945 (pasal 28) dan UU No.40 tahun 1999 tentang Pers (pasal 4).
Seperti halnya pers profesional, maka pers mahasiswa mesti mengawal kebebasan tersebut dengan praktek kebertanggungjawaban. Di sinilah pers mahasiswa berlatih diri mempraktekkan prinsip objektivitas, menegakkan akurasi, menerapkan prinsip balance dalam pemberitaan dan tulisan, menjauhi kabar bohong dan fitnah, Dengan kata lain, pers mahasiswa merupakan lahan yang kondusif untuk menjiwai etik dan spirit pers yang sesungguhnya.
Bagaimanakah aktualisasi dan peran pers mahasiswa dalam era kebebasan pers? Ada beberapa kenyataan yang relevan dengan pertanyaan tersebut. Pertama, pers mahasiswa merupakan media ekspresi tempat mengemukakan pikiran dan pendapat di kalangan komunitas mahasiswa sebagai bagian dari komunitas akademis. Kedua, pers mahasiswa merupakan lahan penyemaian (breeding ground) bagi tumbuhkembangnya pelaku pers profesional. Ketiga, pers mahasiswa (pernah) menjadi “kawasan penyangga” (buffer zone) kebebasan pers di suatu masyarakat.
Keempat, pers mahasiswa diharapkan oleh masyarakat luas mencerminkan keunikan dalam isi pesan yang tidak dapat diakses dimana-mana di tempat lain, tapi hanya ada di pers mahasiswa, karena domisilinya yang khas di lingkungan universitas.
Sebagai sebuah komunitas, perguruan tinggi memang membutuhkan adanya saluran informasi yang memungkinkan warga komunitas dimaksud mengetahui apa yang tengah terjadi dan mereka dapat menyatakan respon mereka terhadap sesuatu hal yang sedang berlangsung di lingkungan komunitas tersebut mau pun lingkup yang lebih luas di luarnya. Untuk itulah pers mahasiswa hadir di lingkungan kehidupan kampus.
Seperti diketahui, pers mahasiswa berfungsi sebagai saluran ekspresi yang mewadahi kebebasan berpendapat atau pun juga dikenal sebagai kebebasan akademik yang menjadi karakter komunitas perguruan tinggi. Ciri penting dari kebebasan ini terletak pada kebertanggungjawabannya pada civitas akademika serta masyarakat secara keseluruhan. Dalam penerapannya, kebebasan akademik senantiasa dipagari oleh sejumlah rambu etika dan moral yang memandunya agar tidak keluar dari rel yang seharusnya. Memang mengenai hal ini senantiasa berkembang diskusi yang menarik tentang seberapa bebas dan seberapa bertanggungjawab praktek kebebasan itu dalam pelaksanaannya. Batasan yang definitif mengenai hal tersebut memang tidak mudah untuk dirumuskan. Namun yang lazim menjadi rujukan adalah nilai-nilai moral dan etik yang berlaku di masing-masing lingkungan. Di atas itu semua, hal ini merupakan pendidikan bagi mahasiswa mengenai hak dan kewajiban mereka berkenaan dengan kebebasan tersebut, yang kelak diharapkan menjadi bekal untuk menjadi seorang warga negara yang melibatkan diri (involved citizens) dalam kehidupan bernegara.
Selama ini pers mahasiswa juga telah terbukti merupakan tempat bersemainya bibit-bibit calon pelaku pers profesional. Telah banyak jurnalis dan tenaga manajerial pers profesional yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pers mahasiswa. Kelak mereka itu setelah menyelesaikan studi umumnya mendapat apresiasi dan tempat yang baik serta sambutan yang “welcome” di lingkungan pers profesional. Seorang maestro jurnalis kita, Rosihan Anwar menyatakan pers mahasiswa sebagai breeding ground buat tumbuhnya jurnalis professional. Ini tentunya merupakan pengakuan yang cukup membesarkan hati.
Berikutnya, pengalaman mengajarkan bahwa ketika iklim kehidupan sosial politik kita telah membelenggu ruang gerak pers professional dalam menjalankan fungsinya, pers mahasiswa tampil memerankan fungsi tersebut. Publik pernah merasakan peran yang dilakukan oleh -- sebagai contoh -- tabloid Gelora Mahasiswa (Universitas Gadjah Mada) dan Salemba (Universitas Indonesia) serta pers mahasiswa lainnya pada era 70-an manakala pers professional saat itu boleh dikatakan telah ”tiarap”. Hal itu tentu tidak terlepas dari dukungan pimpinan universitas dan seluruh civitas akademika serta adanya tradisi kebebasan akademik di perguruan tinggi.
Berikutnya, banyak hal yang dapat digarap oleh pers mahasiswa yang merupakan comparative advantage karena basisnya di perguruan tinggi. Hampir segala macam resources dan keahlian dalam beraneka bidang boleh dibilang ada di universitas. Itu semua merupakan asset yang amat berharga untuk mengembangkan pers mahasiswa yang berbobot dan mendapat tempat di hati khalayak.
Untuk itu diperlukan sejumlah langkah upaya agar cita-cita tersebut dapat dicapai. Pertama, perlu suatu panduan jurnalisme yang menjadi acuan dalam mengaktualisasikan peran pers mahasiswa di era kebebasan pers. Kedua, juga dibutuhkan sejumlah tuntunan praktis (practical guides) mengenai hal-hal teknis seperti reporting, editing, manajemen, serta monitoring dan evaluasi. Ketiga, dalam mengimplementasikan kebebasan pers, diperlukan pula referensi tentang etika jurnalisme. Keempat, kalangan pers mahasiswa perlu mengembangkan dan menjalin networking di antara sesama agar dapat saling membantu dan berbagi.
Sustainability: problem “abadi”
Akan tetapi, ternyata kebebasan saja tidak cukup untuk terwujudnya pers mahasiswa yang langgeng dan berkelanjutan. Ada sejumlah faktor penting yang menentukan hal itu, di antaranya adalah kebersediaan (willingness) para mahasiswa untuk menjadi pelaku yang tangguh dan ulet, semangat berdedikasi untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, apresiasi terhadap aktivitas pers mahasiswa, kemauan untuk terus menerus belajar dan belajar dan dukungan lingkungan yang memadai.
Mengapa pers mahasiswa di tempat kita umumnya mengidap penyakit discontinuity? Menirukan pepatah: jangan “patah tidak tumbuh dan hilang tanpa berganti”. Apakah ada kaitan persoalan ini dengan kesementaraan kemahasiswaan itu sendiri? Bisakah diupayakan agar meski pun mahasiswanya silih berganti, namun media pers mahasiswa di suatu kampus tetap langgeng dan berkelanjutan? Sebagai contoh, koran kampus Universitas Indonesia Salemba hanya berusia balita, lalu punah***. Yang terus bertahan barangkali cuma Media Aesculapius di fakultas kedokteran UI.
Untuk itu sudah saatnya dilakukan langkah yang konkrit menata pengelolaan pers mahasiswa dengan menerapkan konsep keprofesionalan di semua bidang.
------
*Disampaikan pada Forum Fasilitasi Peningkatan Pers Mahasiswa di Semarang, 6 April 2007.
**Ex pemimpin redaksi suratkabar kampus UI Salemba (1974-76), Ketua Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) cabang Jakarta (1975-76) dan anggota dewan redaksi majalah Mahasiswa (terbitan Direktorat Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1973-1976).
***Bandingkan misalnya dengan koran kampus University at Albany, The State University of New York bernama The ASP (The Albany Student Press) yang terbit setiap minggu kontinyu sejak tahun 1916 sampai sekarang. Sejak tahun 2002 media ini meluncurkan website dan sekarang ada edisi online nya, dan mulai tahun 2005 dicetak full colour.
Posted at 18:57 | 5 comments read on
Waktu Belajar, Hemat Energi, dan Melek Media
WAKIL Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi seusai membuka masa orientasi siswa di SMA Negeri 1 Purwakarta baru-baru ini menyatakan bahwa mematikan televisi pada saat jam belajar anak sekolah dinilai lebih bijaksana dalam rangka gerakan menghemat pemakaian listrik. Menurut Dedi, selain membudayakan anak untuk belajar, jam-jam tersebut juga merupakan puncak pemakaian beban listrik rumah tangga. Waktu antara pukul 18.00 WIB sampai pukul 20.00 WIB adalah saat yang tepat untuk mematikan televisi."Lonjakan listrik terbesar terjadi pada jam-jam tersebut," ujarnya. Selain itu, di beberapa daerah pada jam-jam tersebut digunakan untuk mendalami ilmu agama (mengaji). Oleh karena itu, langkah tersebut mempunyai keuntungan ganda, selain menghemat energi juga membudayakan anak untuk belajar di rumah.
Pernyataan Wakil Bupati Purwakarta ini menarik untuk disimak, karena selain soal menghemat listrik dan membantu anak untuk memfokuskan diri dalam belajar, sesungguhnya hal ini berkaitan pula dengan pembentukan kebiasaan mengonsumsi media secara sehat. Dengan demikian anak-anak mendapat bimbingan mengenai kapan saatnya belajar (tentunya dengan konsentrasi penuh), dan bila waktu yang tepat untuk menonton TV. Kebiasaan yang teratur ini hendaklah dibentuk sejak dini. Jangan sampai keasyikan menonton dibiarkan berlangsung tanpa kendali.
Pemikiran untuk mengendalikan penggunaan media menjadi perhatian yang serius di kalangan para pendidik di negara-negara maju karena sejumlah bukti menunjukkan bahwa waktu yang terpakai oleh para siswa menonton televisi ternyata cukup banyak dan hampir-hampir menyita kegiatan penting lain yang seyogianya mereka jalani.
Studi di Indonesia oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia menemukan bahwa anak Indonesia menonton televisi rata-rata empat jam sehari. Penggunaan waktu yang begitu banyak untuk menonton televisi tentu berpengaruh bagi kegiatan belajar dan prestasi para siswa.
Pengendalian konsumsi media ini merupakan bagian dari konsep melek media (media literacy) yaitu untuk menyadarkan akan pentingnya keseimbangan atau pengelolaan media "diet" seseorang. Dengan demikian anak dan keluarganya dapat dibantu membuat pilihan yang sehat (healthy choice) dan mengatur waktu yang tepat digunakan baik untuk menonton TV, film, games, maupun media lain.
Jam wajib belajar
Dua tahun silam, pemerintah Kota Solo telah mencanangkan jam wajib belajar masyarakat yang berlaku untuk siswa-siswa sekolah di kota tersebut. Pencanangannya dilakukan oleh Wali Kota Solo Slamet Suryanto pada upacara 17 Agustus 2003. Jam wajib belajar masyarakat ini berlaku setiap hari, kecuali hari Sabtu, pada pukul 18.30 WIB hingga 20.30 WIB. Dengan adanya jam wajib belajar masyarakat ini, diharapkan para siswa dapat rajin belajar dengan pengawasan dari orang tua. Tadinya, program jam wajib belajar masyarakat ini bermula dari Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo yang telah melaksanakan projek penjajakan (pilot project) kegiatan ini.
Setelah dicanangkan, program ini lalu disosialkan melalui kecamatan dan kelurahan. Juga dibentuk tim pengawasan yang terdiri dari tiga unsur, yaitu pemerintah, tokoh masyarakat, dan orang tua. Tim ini akan melihat bagaimana program ini dijalankan oleh masyarakat terutama oleh para siswa sekolah yang didampingi oleh orang tuanya.
Memang yang menjadi ujung tombak dalam program ini adalah orang tua agar selalu mengawasi dan membimbing anaknya untuk belajar. Begitu pula dengan masyarakat secara keseluruhan harus mendukung siswa untuk belajar pada jam-jam yang ditentukan dalam program jam wajib belajar. Misalnya, dengan tidak mengadakan kegiatan untuk pelajar pada jam-jam tersebut dan juga menjaga situasi lingkungan yang tenang untuk belajar.
Melek media
Kehidupan kita sehari-hari saat ini tidak dapat dipisahkan dari berbagai media yang ada di sekitar. Ribuan pesan membombardir setiap hari. Apakah semua itu benar? Berapa banyak dari pesan itu yang palsu? Bagaimana caranya membedakan pesan yang benar dengan yang bohong? Apa kiat untuk mampu memahami informasi secara benar?
Tadinya media dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dan dikonsumsi begitu saja. Namun, sebenarnya tidak demikian. Orang harus memiliki bekal yang memadai untuk mampu berinteraksi dengan media, tanpa harus menjadi korban. Inilah awal dari ide perlunya melek media.
Menurut Elizabeth Thoman, dari Center for Media Literacy di Kanada, melek media (media literacy) merupakan penggabungan tiga pendekatan yang saling berkaitan (interrelated approaches). Yaitu:
- Menjadi sadar akan pentingnya keseimbangan atau pengelolaan media "diet" seseorang --membantu anak dan keluarganya membuat pilihan yang sehat (healthy choice) dan mengatur waktu yang digunakan untuk TV, film, games, dan media lain.
- Mengajarkan keterampilan yang spesifik dari memirsa secara kritis (critical viewing) --belajar menganalisis dan mempertanyakan apa yang ada dalam frame, bagaimana hal itu di-construct, dan apa yang telah diabaikan (left out). Keterampilan critical viewing ini paling baik dipelajari lewat inquiry-based classes atau kegiatan kelompok interaktif sekaligus menciptakan dan memproduksi media messages masing-masing.
- Analisis sosial, politik dan ekonomi di balik frame (melalui mana kita melihat media images) untuk menggali isu lebih dalam tentang siapa yang memproduksi media yang kita konsumsi, dan untuk tujuan apa?
Langkah-langkah yang dimaksud dapat ditempuh melalui penataan kebijakan mengenai anak dan televisi, pengisian program televisi dengan acara-acara yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatannya bagi pertumbuhan anak yang sehat secara fisik dan mental, serta pembekalan anak dengan keterampilan menonton televisi secara benar. Yang belakangan ini dapat dimulai dengan membekali para orang tua agar mereka dapat membimbing anaknya menjadi penonton televisi yang kritis, selektif, dan memahami isi pesan dengan tepat.
------
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/05/0802.htm
Posted at 07:50 | 0 comments read on