Mengenang Profesor Slamet Iman Santoso

HARI Kamis (9/12), tepat satu bulan almarhum Prof Slamet Iman Santoso meninggalkan kita. Bagi sebagian mahasiswa Universitas Indonesia (UI) era 70-an -- terutama para aktivis student government masa itu -- boleh dikatakan ada dua ikon UI, yaitu lambang makara dan Prof Slamet.

Itu karena keberadaan beliau di tengah UI saat itu memang amat terasa. Sosoknya yang khas, selalu berpakaian putih-putih dengan kemeja berkantong empat, dan gaya bicaranya yang khas.

Meski jabatannya adalah Pembantu Rektor I (Bidang Akademik), tapi almarhum cukup sering "menjadi" rektor karena ada beberapa masa ketika itu sang rektor sekaligus adalah menteri. Karena itu, yang benar-benar menjaga front di gedung rektorat UI yang juga berarsitektur khas di Salemba adalah beliau.

Namun yang paling terasa adalah ketokohannya sebagai bapak yang dituakan. Bagi siapa pun yang berada di dekatnya ketika itu, terasa bahwa almarhum adalah seorang yang dihormati oleh semua kalangan. Dengan pembawaannya yang khas kebapakan itu memang tak seorang pun -- termasuk di kalangan Dewan Mahasiswa -- yang merasa risih atau pun sungkan berada di dekatnya.

Telah menjadi pemandangan biasa, di sela-sela kesibukannya sebagai pejabat tinggi universitas, kalau Sang Profesor bertandang ke kantor DMUI yang terletak di sebelah rektorat kala itu. Suasananya begitu akrab. Bahkan hingga DMUI telah berkantor di Student Center di kanan belakang kampus Salemba pun, Prof Slamet masih sering ber-in cognito ke situ.

Nah, dalam kesempatan seperti itulah biasanya, sang Profesor mengobrol dengan para mahasiswa, layaknya dengan sesama teman sendiri. Yang paling menarik tentunya bila beliau membahas atau mengomentari situasi paling aktual di hari-hari tersebut. Maklum, angin politik seringkali berembus hingga ke UI. Komentar beliau tersebut umumnya blak-blakan dan langsung ke butir persoalan. Tak ada kesan angker atau pun "tinggi" pada dirinya. Siapa pun yang "kuat" merespon ucapan-ucapan beliau akan diladeni.

Humor dan Filsafat Tajam
Mahasiswa UI pada masa itu tidak akan lupa pada sense of humor Prof Slamet yang tinggi. Kalau dia mengeluarkan pernyataan tertentu, kita harus jeli menyimak kata-kata yang diucapkan, karena justru pada rangkaian kalimat beliaulah akan terasa humor yang menyentuh.
Begitupun jika ia bertanya, seringkali unsur filsafatnya terasa tajam. Tentang humor dan keunikan gaya bicara beliau, sejumlah wartawan pun punya cerita pengalaman masing-masing yang cukup menarik.

Pernah suatu kali di halaman rektorat berserakan centang-prenang berbagai benda dan peralatan. Dengan gaya santai, sang Profesor bertanya kepada Ketua Dewan Mahasiswa UI kala itu, Azrul Azwar (sekarang Prof Dr/Dirjen Binkesmas Depkes): "Azrul, kalian ini mau ngapain?".

Dengan tenang pertanyaan pun dijawab bahwa DMUI sedang mempersiapkan karnaval yang berisi imbauan agar pemerintah dan masyarakat memperhatikan nasib Candi Borobudur. Mendengar hal itu, beliau langsung menyatakan dukungannya. Entah suatu kebetulan, memang tak begitu lama setelah karnaval tersebut, pemerintah melakukan restorasi Borobudur yang terkenal itu.

Di atas itu semua, yang terasa diajarkan oleh beliau adalah kegigihan untuk berani berpendirian dan mempertahankan pendirian tersebut. Tentunya harus ditopang oleh keyakinan yang berlandaskan kebenaran.

Di masa-masa ketika kuku Orde Baru mencengkeram ke hampir semua lini kehidupan, Prof Slamet sering dirasakan sebagai satu dari tak berapa banyak lagi orang saat itu yang masih berani mengatakan sesuatu apa adanya dan menjadi tempat bertanya bagi berbagai kalangan.

Masa itu, ia bak sebatang tonggak yang tetap tegak di tengah terpaan angin. Ucapan dan pernyataannya tentang berbagai masalah aktual kala itu segera dikutip oleh pers, karena memang bukan sekadar komentar biasa atau pun cuma ikut arus belaka.

Kualitas Pendidikan
Salah satu hal yang dirisaukannya adalah soal kualitas pendidikan kita sejak SD hingga universitas. Dalam banyak kesempatan hal itu disuarakannya tanpa tedeng aling-aling. Inilah yang menjadi sorotan beliau di banyak pernyataan yang disampaikannya. Tentu banyak pihak yang terkaget-kaget, termasuk lingkungan UI sendiri.

"Ini pabrik, belum sebuah universitas," ujarnya kepada kami yang terbengong-bengong karena waktu itu belum sepenuhnya mampu mencerna apa yang diprihatinkan oleh guru besar psikologi itu. Tentunya teman-teman di lingkungan psikologi punya kenangan yang lebih banyak lagi mengenai hal ini.

Belakangan, seiring lanjutnya usia beliau, memang kita tidak lagi mendengar atau melihatnya tampil di tengah panggung UI. Hingga di sekitar tahun 90-an, sesekali masih terlihat ia berolahraga jalan kaki ditemani pembantunya yang setia, melintasi kawasan Cikini menuju tempat tinggalnya di Jl Cimandiri.

Namun begitu, sosok beliau yang khas tentulah tak bisa dilupakan karena telah menjadi bagian yang penting dari riwayat keseharian UI pada masanya ketika itu.

Bagi mereka yang mengikuti ujian saringan masuk UI, pasti ingat bahwa tanda dimulainya ujian adalah dengan dikibarkannya bendera UI di tengah stadion utama Senayan oleh seorang sepuh berambut putih yang juga mengenakan baju dan celana berwarna putih yang khas.

Itulah beliau, yang pada hari Selasa 9 November 2004 lalu, telah dipanggil pulang menghadap Khalik-nya pada usia 97 tahun. Kini itu semua tinggal kenangan. Semoga Allah menerima amal baiknya, mengampuni segala kesalahannya dan menempatkannya di tempat yang layak.

Selamat jalan Prof, kami akan selalu mengenangmu.

------
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/12/10/Editor/edi03.htm

About this entry